oleh: Nana Altafunnisa
Hujan dari langitku membasahi hidupku,
Ketika kehilanganmu.
Hujan dari mataku membasahi sajakku,
Ketika menuliskanmu.
Ketika mentari mulai menampakkan senyumnya, hujan pun telah
tiada digantikan gerimis yang sejak tadi tak bosannya membasahi bumi. Sama
halnya gerimis ini, akupun enggan beranjak dari tempat tidurku memandangi dari
balik jendela butiran-butiran kristal yang jatuh dari genteng serta daun-daun
pepohonan.
Ketabahan
dan kesabaran,
Hidup yang
senang tiasa disyukuri,
Adalah
doaku pagi ini…
Aku begitu menikmati saat-saat seperti ini, dimana terdapat
lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu. Sama halnya denganku.
Imajiku kembali berputar mengingat saat waktu
mempertemukanku akan sosok yang tidak begitu menarik bagiku, setidaknya saat
itu. Saat kepalaku seakan pecah akibat terserang flu. Mungkin saja
ketaktertarikanku itu dipicu oleh rasa sakit yang merajai kepalaku hingga aku
tak begitu memperhatikan sosok yang hadir didepanku.
Saat itu, aku baru pulang dari kuliah hendak menunggu angkot
di depan kampus. Hari memang begitu panas, matahari begitu terik seakan
lidahnya menjilati ubun-ubun kepalaku, ditambah lagi flu yang menyerang,
membuatku hampir tak sadarkan diri dan terkapar di tempat itu. Untung saja
seseorang di belakangku langsung memapah tubuhku dan menuntunku untuk duduk
sementara Ia mengeluarkan botol mineral dari tasnya dan menyodorkannya padaku.
Awalnya aku enggan untuk meminumnya. Bisa saja orang ini
bukanlah orang baik-baik dan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengelabui
ketakberdayaanku, bisa saja air dalam botol itu tercampur sesuatu, sehingga aku
mengurungkan niatku untuk meminum air pemberiannya. Tapi nampaknya ia dapat
membaca pikiranku seraya berkata.
“tidak usah khawatir, saya orang baik-baik kok, minum saja
airnya. Mungkin setelah minum perasaanmu akan lebih baik, ini air mineral
biasa, kalau tidak percaya biar saya minum dulu.”
Ia pun meminum air yang ada dibotol itu dan memberikannya
kepadaku seraya berkata.
“nah saya baik-baik saja kan? Ayo airnya diminum!”
Hmm…sepertinya saya memang membutuhkan air ini untuk
membasahi tenggorokanku yang sedari tadi merasakan dehidrasi akibat cuaca yang
begitu panas ini. Lagi pula orang ini sepertinya orang baik-baik, pikirku.
Akupun mengambil botol air yang dari tadi disodorkan padaku
dan tanpa sadar meneguk air yang ada di botol itu hingga habis. Ia pun
menertawakan tingkahku yang bagaikan musafir di tengah sahara yang menemukan
oase dan meminum habis airnya.
“hahaha, bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah baikan?”
Aku mengangguk atas pertanyaan yang ia ajukan.
Malu juga aku atas tingkah bodohku meminum hingga tak
tersisa air itu. Tapi tak apa lah, toh dia juga tak mempermasalahkannya.
Melihat angkot yang singgah didepanku, aku pun bergegas
menaikinya. Tak lupa mengucapkan terima kasih pada lelaki yang menolongku tadi.
Di atas angkot, aku masih melihatnya tersenyum dan
melambaikan tangan saat angkotnya berlaju. Senyum itu, senyum tulus, sejuk, dan
aku suka.
***
Seminggu setelah pertemuan itu, takdir mempertemukanku
kembali dengannya. Sosok yang awalnya tidak begitu menarik namun memiliki
senyuman yang sejuk. Aku bertemu di perpustakaan saat aku mencari resensi bahan
kuliah.
“permisi, kalau tidak salah kamu yang hari itu hampir
pingsan saat nunggu angkot kan?”
Awalnya aku tak mengenali sosok yang ada di depanku ini, sok
kenal betul orang ini! Pikirku. Namun, setelah mengingat-ingat kejadan pingsan
tersebut, aku mulai mengenali pria yang menegurku ini, ia pemilik senyum itu.
“oh kamu yang menolongku waktu itu kan?”
“iya, kebetulan waktu itu hanya ada saya disana jadi mau
tidak mau saya musti nolong kamu, dari pada saya disangka yang tidak-tidak sama
orang.”
“oh...berarti kalo ada orang lain kamu tidak akan nolong
saya, begitu? Ih gak berprikemanusiaan banget!”
“hahaha bercanda, Bagaimana kabar kamu sekarang? Sudah
sembuh?”
“alhamdulillah, yang kemarin cuma flu biasa kok.”
“hmm... ngomong-ngomong kuliah jurusan apa?
“jurusan bahasa indonesia.”
“oh yah? Angkatan berapa? Saya kok gak pernah liat yah?”
“saya maba, trus kalo selesai perkuliahan biasanya langsung
balik ke kost, kalo dosen lagi gak masuk biasanya tinggal di perpus, makanya
saya jarang keliatan. kamu sendiri jurusan apa?”
“bahasa Indonesia juga, angkatan 2009.”
“oh yah? Berarti dua tahun di atasku kalo begitu, maaf yah
kak kalo dari tadi saya manggilnya kurang sopan.”
“ hahaha, gak papa. Saya justru senang kalo begitu, itu
artinya wajah saya baby face, wajah-
wajah maba gitu.”
“It’s not
about the money, money, money
We don’t
need your money, money, money
We just
wanna make the world dance, forget about the price tag.”
Alunan musik price tag dari hpku membuat percakapan kami
terputus, kulihat layarnya Ummul memanggil.
“Halo? Oh, iya iya, makasih yah”
Setelah menerima telepon dari Ummul saya pamit untuk kembali
ke kelas.
“kak, saya permisi duluan yah, katanya udah ada dosen.”
“iya... iya...”
Dari pertemuan kedua itu kami mulai saling akrab dan sering
bertemu. Tak jarang kami janjian hanya untuk sekadar berbincang-bincang
mengenai apa saja. Dia merupakan pribadi yang menyenangkan dalam hal apa saja.
Tak terasa waktu berputar semakin mendekatkan kami. Dan
diantara tatapan mata kami, telah lahir sesuatu yang baru berasal dari denyut
jantungku, juga jantungnya. Seakan tiap malam adalah jadwal rutin kami untuk
bertemu. Ada-ada saja yang dibicarakan, seakan topik tak pernah habisnya untuk
dibahas. hingga malam itupun tiba, malam yang tak kusangka tapi selalu kunanti
dimana dia mengungkapkan perasaannya terhadapku.
“Nisa aku sayang kamu dan aku tidak tahu kenapa kamu, maukah
kamu kamu jadi pasanganku?”
Mendengar kalimat itu saya sempat tidak percaya, kenapa ada
cowok yang menyatakan perasaannya secara langsung dengan kata-kata sesimpel
ini. Ah, tidak romantis betul orang ini, pikirku.
Terbayang prosesi penembakanku,
saya berada di puncak gedung tinggi kemudian lampu-lampu kota tiba-tiba padam,
tak lama kemudian terdapat beberapa lampu yang menyala dan membentuk sebuah
tulisan “I LOVE YOU”, namun khayalan
itu tiba-tiba buyar ketika ternyata hanya kalimat sederhana yang ia lontarkan
kepadaku.
Namun saya memaklumi karena saya tahu lelaki yang ada di
hadapanku ini adalah sosok pemalu dimana setiap apa yang ia lontarkan adalah
sesuatu yang jujur dari lubuk hatinya.
Kata-katanya malam itu membuatku sadar bahwa tak selamanya kata-kata
indah serta rayuan gombal mampu meluluhkan hati wanita. Hanya dengan kalimat
yang sederhana tapi dibumbui dengan kejujuran mampu membuatku merasa bahwa
ialah sosok yang saya dambakan.
Semuanya berlalu begitu cepat, hingga suatu malam ia
berkunjung ke tempatku dan memberi kabar yang entah aku harus menunjukkan
reaksi apa terhadap kabar tersebut karena disatu sisi aku senang melihatnya
senang karena mendapatkan beasiswa ke luar negeri untuk melanjutkan studinya.
Namun, disisi egoku enggan melepasnya jauh dariku.
‘’Nis, tadi siang saya menerima surat bahwa saya mendapat
beasiswa dari School of Internasional Service, di The American University. Tau
gak nis, impianku sejak dulu tuh mendapatkan beasiswa ini. Dan gak nyangka
kesepatan ini datang untukku. Hebat kan nis?”
“hah? Iya, kamu hebat”
Hanya itu yang dapat ku ucapkan saat itu, sementara
pendengaranku masih shock mendengar
kabar yang baru saja ia sampaikan. Tapi sepertinya ia begitu peka merasakan apa
yang terjadi padaku, ia begitu lihai membaca apa yang aku pikirkan,
kecemasanku.
“Nisa, saya mengerti perasaanmu saat ini, saya tahu kau tak
ingin jauh dariku. Tapi sulit untukku melepas begitu saja kesempatan ini, yang
kamu tahu persis bahwa sejak dulu saya impikan. Tapi kau tahu? Menurutku jauh
adalah ketika kita duduk bersebelahan di bangku taman menatap senja, tapi hati
kita di bangku yang berbeda”.
Aku hanya bisa mendengar kata-kata dari bibirnya. Namun, tak
satu kata pun dapat ku ucapkan. Aku sibuk menata perasaanku yang berkecamuk
antara senang, dan sedih bercampur jadi satu.
“ Nisa, saya janji ini tidak akan lama, kamu mau
menungguku?”
“pergilah lif, kejar mimpimu, kembalilah ketika apa yang kau
inginkan telah kau capai. Saya tak ingin jadi penghalang bagi mimpimu. Ketika
kau kembali nanti, saya akan menyambutmu dan kita bersama-sama mewujudkan mimpi
kita.”
***
Setahun setelah kepergian alif, aku tetap menjalankan
rutinitasku sebagai seorang mahasiswa. Namun, seperti ada sesuatu yang kurang.
Di antara kepergianmu dan kehilanganku, Tuhan tak menciptakan
banyak hal untuk kita. Kepergianmu adalah kesepian abadi yang pernah Tuhan
ciptakan di hatiku. Kamu mahaguru yang mengajarkanku bagaimana menunggu.
Lalu seperti kemarin dan setiap waktu sebelum hari ini,
ketika hujan, kenangan bersamamu kembali menyeruak bak tetes demi tetes
kerinduan membasahi taman di dasar jiwa yang sesekali menjadikannya tenggelam
dan larut dalam kepedihan. Namun, satu alasan kuat mengapa aku masih bertahan
hingga kini karena aku yakin Tuhan memiliki tencana yang lebih baik bagiku,
bagimu, kita kelak.
0 komentar:
Posting Komentar