Selasa, 14 Agustus 2012

Air Mata Penantianku...!!!



Hujan dari langitku membasahi hidupku,
Ketika kehilanganmu.
Hujan dari mataku membasahi sajakku,
Ketika menuliskanmu.

Ketika mentari mulai menampakkan senyumnya, hujan pun telah tiada digantikan gerimis yang sejak tadi tak bosannya membasahi bumi. Sama halnya gerimis ini, akupun enggan beranjak dari tempat tidurku memandangi dari balik jendela butiran-butiran kristal yang jatuh dari genteng serta daun-daun pepohonan.
Cintaku,
Ketabahan dan kesabaran,
Hidup yang senang tiasa disyukuri,
Adalah doaku pagi ini…

Aku begitu menikmati saat-saat seperti ini, dimana terdapat lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu. Sama halnya denganku.
Imajiku kembali berputar mengingat saat waktu mempertemukanku akan sosok yang tidak begitu menarik bagiku, setidaknya saat itu. Saat kepalaku seakan pecah akibat terserang flu. Mungkin saja ketaktertarikanku itu dipicu oleh rasa sakit yang merajai kepalaku hingga aku tak begitu memperhatikan sosok yang hadir didepanku.
Saat itu, aku baru pulang dari kuliah hendak menunggu angkot di depan kampus. Hari memang begitu panas, matahari begitu terik seakan lidahnya menjilati ubun-ubun kepalaku, ditambah lagi flu yang menyerang, membuatku hampir tak sadarkan diri dan terkapar di tempat itu. Untung saja seseorang di belakangku langsung memapah tubuhku dan menuntunku untuk duduk sementara Ia mengeluarkan botol mineral dari tasnya dan menyodorkannya padaku.
Awalnya aku enggan untuk meminumnya. Bisa saja orang ini bukanlah orang baik-baik dan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengelabui ketakberdayaanku, bisa saja air dalam botol itu tercampur sesuatu, sehingga aku mengurungkan niatku untuk meminum air pemberiannya. Tapi nampaknya ia dapat membaca pikiranku seraya berkata.
“tidak usah khawatir, saya orang baik-baik kok, minum saja airnya. Mungkin setelah minum perasaanmu akan lebih baik, ini air mineral biasa, kalau tidak percaya biar saya minum dulu.”
Ia pun meminum air yang ada dibotol itu dan memberikannya kepadaku seraya berkata.
“nah saya baik-baik saja kan? Ayo airnya diminum!”
Hmm…sepertinya saya memang membutuhkan air ini untuk membasahi tenggorokanku yang sedari tadi merasakan dehidrasi akibat cuaca yang begitu panas ini. Lagi pula orang ini sepertinya orang baik-baik, pikirku.
Akupun mengambil botol air yang dari tadi disodorkan padaku dan tanpa sadar meneguk air yang ada di botol itu hingga habis. Ia pun menertawakan tingkahku yang bagaikan musafir di tengah sahara yang menemukan oase dan meminum habis airnya.
“hahaha, bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah baikan?”
Aku mengangguk atas pertanyaan yang ia ajukan.
Malu juga aku atas tingkah bodohku meminum hingga tak tersisa air itu. Tapi tak apa lah, toh dia juga tak mempermasalahkannya.
Melihat angkot yang singgah didepanku, aku pun bergegas menaikinya. Tak lupa mengucapkan terima kasih pada lelaki yang menolongku tadi.
Di atas angkot, aku masih melihatnya tersenyum dan melambaikan tangan saat angkotnya berlaju. Senyum itu, senyum tulus, sejuk, dan aku suka.
***
Seminggu setelah pertemuan itu, takdir mempertemukanku kembali dengannya. Sosok yang awalnya tidak begitu menarik namun memiliki senyuman yang sejuk. Aku bertemu di perpustakaan saat aku mencari resensi bahan kuliah.
“permisi, kalau tidak salah kamu yang hari itu hampir pingsan saat nunggu angkot kan?”
Awalnya aku tak mengenali sosok yang ada di depanku ini, sok kenal betul orang ini! Pikirku. Namun, setelah mengingat-ingat kejadan pingsan tersebut, aku mulai mengenali pria yang menegurku ini, ia pemilik senyum itu.
“oh kamu yang menolongku waktu itu kan?”
“iya, kebetulan waktu itu hanya ada saya disana jadi mau tidak mau saya musti nolong kamu, dari pada saya disangka yang tidak-tidak sama orang.”
“oh...berarti kalo ada orang lain kamu tidak akan nolong saya, begitu? Ih gak berprikemanusiaan banget!”
“hahaha bercanda, Bagaimana kabar kamu sekarang? Sudah sembuh?”
“alhamdulillah, yang kemarin cuma flu biasa kok.”
“hmm... ngomong-ngomong kuliah jurusan apa?
“jurusan bahasa indonesia.”
“oh yah? Angkatan berapa? Saya kok gak pernah liat yah?”
“saya maba, trus kalo selesai perkuliahan biasanya langsung balik ke kost, kalo dosen lagi gak masuk biasanya tinggal di perpus, makanya saya jarang keliatan. kamu sendiri jurusan apa?”
“bahasa Indonesia juga, angkatan 2009.”
“oh yah? Berarti dua tahun di atasku kalo begitu, maaf yah kak kalo dari tadi saya manggilnya kurang sopan.”
“ hahaha, gak papa. Saya justru senang kalo begitu, itu artinya wajah saya baby face, wajah- wajah maba gitu.”
“It’s not about the money, money, money
We don’t need your money, money, money
We just wanna make the world dance, forget about the price tag.”
Alunan musik price tag dari hpku membuat percakapan kami terputus, kulihat layarnya Ummul memanggil.
“Halo? Oh, iya iya, makasih yah”
Setelah menerima telepon dari Ummul saya pamit untuk kembali ke kelas.
“kak, saya permisi duluan yah, katanya udah ada dosen.”
“iya... iya...”
Dari pertemuan kedua itu kami mulai saling akrab dan sering bertemu. Tak jarang kami janjian hanya untuk sekadar berbincang-bincang mengenai apa saja. Dia merupakan pribadi yang menyenangkan dalam hal apa saja.
Tak terasa waktu berputar semakin mendekatkan kami. Dan diantara tatapan mata kami, telah lahir sesuatu yang baru berasal dari denyut jantungku, juga jantungnya. Seakan tiap malam adalah jadwal rutin kami untuk bertemu. Ada-ada saja yang dibicarakan, seakan topik tak pernah habisnya untuk dibahas. hingga malam itupun tiba, malam yang tak kusangka tapi selalu kunanti dimana dia mengungkapkan perasaannya terhadapku.
“Nisa aku sayang kamu dan aku tidak tahu kenapa kamu, maukah kamu kamu jadi pasanganku?”
Mendengar kalimat itu saya sempat tidak percaya, kenapa ada cowok yang menyatakan perasaannya secara langsung dengan kata-kata sesimpel ini. Ah, tidak romantis betul orang ini, pikirku.
Terbayang prosesi penembakanku, saya berada di puncak gedung tinggi kemudian lampu-lampu kota tiba-tiba padam, tak lama kemudian terdapat beberapa lampu yang menyala dan membentuk sebuah tulisan “I LOVE YOU”, namun khayalan itu tiba-tiba buyar ketika ternyata hanya kalimat sederhana yang ia lontarkan kepadaku. 
Namun saya memaklumi karena saya tahu lelaki yang ada di hadapanku ini adalah sosok pemalu dimana setiap apa yang ia lontarkan adalah sesuatu yang jujur dari lubuk hatinya.
Kata-katanya malam itu membuatku sadar bahwa tak selamanya kata-kata indah serta rayuan gombal mampu meluluhkan hati wanita. Hanya dengan kalimat yang sederhana tapi dibumbui dengan kejujuran mampu membuatku merasa bahwa ialah sosok yang saya dambakan.
Semuanya berlalu begitu cepat, hingga suatu malam ia berkunjung ke tempatku dan memberi kabar yang entah aku harus menunjukkan reaksi apa terhadap kabar tersebut karena disatu sisi aku senang melihatnya senang karena mendapatkan beasiswa ke luar negeri untuk melanjutkan studinya. Namun, disisi egoku enggan melepasnya jauh dariku.
‘’Nis, tadi siang saya menerima surat bahwa saya mendapat beasiswa dari School of Internasional Service, di The American University. Tau gak nis, impianku sejak dulu tuh mendapatkan beasiswa ini. Dan gak nyangka kesepatan ini datang untukku. Hebat kan nis?”
“hah? Iya, kamu hebat”
Hanya itu yang dapat ku ucapkan saat itu, sementara pendengaranku masih shock mendengar kabar yang baru saja ia sampaikan. Tapi sepertinya ia begitu peka merasakan apa yang terjadi padaku, ia begitu lihai membaca apa yang aku pikirkan, kecemasanku.
“Nisa, saya mengerti perasaanmu saat ini, saya tahu kau tak ingin jauh dariku. Tapi sulit untukku melepas begitu saja kesempatan ini, yang kamu tahu persis bahwa sejak dulu saya impikan. Tapi kau tahu? Menurutku jauh adalah ketika kita duduk bersebelahan di bangku taman menatap senja, tapi hati kita di bangku yang berbeda”.
Aku hanya bisa mendengar kata-kata dari bibirnya. Namun, tak satu kata pun dapat ku ucapkan. Aku sibuk menata perasaanku yang berkecamuk antara senang, dan sedih bercampur jadi satu.
“ Nisa, saya janji ini tidak akan lama, kamu mau menungguku?”
“pergilah lif, kejar mimpimu, kembalilah ketika apa yang kau inginkan telah kau capai. Saya tak ingin jadi penghalang bagi mimpimu. Ketika kau kembali nanti, saya akan menyambutmu dan kita bersama-sama mewujudkan mimpi kita.”
***
Setahun setelah kepergian alif, aku tetap menjalankan rutinitasku sebagai seorang mahasiswa. Namun, seperti ada sesuatu yang kurang.
Di antara kepergianmu dan kehilanganku, Tuhan tak menciptakan banyak hal untuk kita. Kepergianmu adalah kesepian abadi yang pernah Tuhan ciptakan di hatiku. Kamu mahaguru yang mengajarkanku bagaimana menunggu.
Lalu seperti kemarin dan setiap waktu sebelum hari ini, ketika hujan, kenangan bersamamu kembali menyeruak bak tetes demi tetes kerinduan membasahi taman di dasar jiwa yang sesekali menjadikannya tenggelam dan larut dalam kepedihan. Namun, satu alasan kuat mengapa aku masih bertahan hingga kini karena aku yakin Tuhan memiliki tencana yang lebih baik bagiku, bagimu, kita kelak.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates